Mengungkap Misteri Sekolah Intelijen, Tempat Para Calon Agen Rahasia Indonesia ditempa
Konon kabarnya, dunia intelijen itu serba rahasia. Di dalam kerahasiaan tinggi itu pula para calon anggota tim “James Bond” Indonesia ini menjalani pendidikannya.
Intelektualitas lebih utama.
Pada zaman ini, mencari alamat sebuah sekolah atau institusi pendidikan bukanlah perkara sulit. Cukup buka buku telepon atau menjelajah di internet. Cling! Semua informasi bisa didapat.
Lain ceritanya kalau yang dicari adalah sekolah calon agen rahasia. Tak ada nomor telepon, demikian juga alamat. Begitu berhasil mendapat nomor kontak, mencari lokasi sekolah tersebut menjadi pekerjaan berikutnya.
Di lokasi, petunjuknya pun hanya sebuah gapura besar bertuliskan “Selamat Datang” di tepi jalan di daerah Sentul Selatan, Bogor, Jawa Barat.
Gapura yang menjadi jalan masuk tersebut dibatasi oleh hutan kecil di sebelah kiri dan tembok memanjang setinggi dua meter di sebelah kanannya.
Tembok tersebut mengarah ke sebuah gerbang. Lagi-lagi tanpa petunjuk apa pun.
Hanya ada beberapa CCTV dan sebuah pos pengamanan yang dijaga oleh dua orang berseragam militer.
Setiap tamu yang berkunjung ke sana, kedua penjaga tersebut tanpa basa-basi langsung meminta ponsel dan kamera untuk disimpan di pos pengamanan.
Di balik gerbang tampak beberapa bangunan berdiri tidak beraturan sesuai kontur tanah.
Sebuah logo, dengan gambar garuda di bagian tengahnya, terlihat di salah satu gedung.
Di sekeliling logo tersebut terdapat tulisan: Sekolah Tinggi Intelijen Indonesia (STIN).
Seolah menjadi petunjuk bahwa bangunan tersebut merupakan tempat para agen rahasia Indonesia dididik.
Prediksi masa depan
Didirikan pada 2004 oleh Badan Intelijen Negara (BIN) yang saat itu dikepalai oleh A.M. Hendropriyono, STIN diharapkan mampu menjadi pemasok SDM bagi BIN.
Khususnya untuk menjadi penerus para agen rahasia Indonesia pada 10-15 tahun mendatang.
Sebenarnya BIN juga merekrut para lulusan perguruan tinggi atau orang-orang dari instansi-instansi tertentu, contoh militer.
Namun, menurut Ketua STIN, Tri Yoga Susilo, secara kuantitas jumlahnya tidak bisa memenuhi kebutuhan SDM.
Selain itu standarnya juga berbeda dengan STIN.
“Misalnya, keseimbangan antara kemampuan inteligensia dan fisik,” ujar Tri Yoga.
Dulu intelijen Indonesia hanya membutuhkan individu yang kuat, mampu membuntuti orang, dan bisa bertahan dalam segala macam kondisi.
“Sekarang kita butuh intelijen yang juga mampu menganalisa dan memprediksi yang akan terjadi pada masa mendatang. Ini sesuai dengan slogan kita, yaitu Cendikia Waskita,” tambah Wahyudi Adisiswanto, Pembantu Ketua III STIN.
Pistol sampai karatan
Lama belajar di STIN empat tahun. Dalam kurun itu, para calon agen rahasia akan melahap dua jenis pelajaran, yaitu pelajaran yang umum diterima di perguruan-perguruan tinggi seperti ilmu ekonomi, sosial, politik, hukum, dan sejarah (diberikan pengajar dari luar STIN) serta muatan lokal (diberikan pengajar dari dalam STIN).
“Tentunya ini bukan muatan lokal biasa. Ini muatan lokalnya kita, ya, ilmu keintelijenan,” kata Wahyudi, Pembantu Ketua I STIN.
Penguasaan bahasa asing yang cas cis cus, menjadi syarat mutlak.
Mahasiswa STIN wajib menguasai satu bahasa asing, selain bahasa Inggris.
Pilihannya bahasa Arab, Mandarin, Jepang, atau Prancis.
Semua harus dipilih sejak awal perkuliahan.
Mahasiswa juga dilatih fisiknya, meski tidak setiap saat dilakukan.
Sebelum berkuliah di STIN, mereka sudah dilatih terlebih dahulu di Pusat Pendidikan Pasukan Khusus (Pusdikpassus), Batujajar, Jawa Barat, selama sebulan.
Ada pula bekal kemampuan bela diri, karate dan pencak silat.
“Fokusnya bukan untuk menyerang, tapi untuk menghindar,” tegas Adisiswanto.
Hal yang sama juga diterapkan dalam penggunaan senjata api.
Mereka hanya belajar menggunakan senjata di lapangan tembak milik STIN.
“Dalam praktiknya, kita jarang menggunakan senjata api dan lebih memilih menyimpannya di rumah. Bahkan pistol saya saja sampai karatan,” Adisiswanto bercerita.
Pria mendominasi ( baca halaman 2 )
Intelektualitas lebih utama.
Pada zaman ini, mencari alamat sebuah sekolah atau institusi pendidikan bukanlah perkara sulit. Cukup buka buku telepon atau menjelajah di internet. Cling! Semua informasi bisa didapat.
Lain ceritanya kalau yang dicari adalah sekolah calon agen rahasia. Tak ada nomor telepon, demikian juga alamat. Begitu berhasil mendapat nomor kontak, mencari lokasi sekolah tersebut menjadi pekerjaan berikutnya.
Di lokasi, petunjuknya pun hanya sebuah gapura besar bertuliskan “Selamat Datang” di tepi jalan di daerah Sentul Selatan, Bogor, Jawa Barat.
Gapura yang menjadi jalan masuk tersebut dibatasi oleh hutan kecil di sebelah kiri dan tembok memanjang setinggi dua meter di sebelah kanannya.
Tembok tersebut mengarah ke sebuah gerbang. Lagi-lagi tanpa petunjuk apa pun.
Hanya ada beberapa CCTV dan sebuah pos pengamanan yang dijaga oleh dua orang berseragam militer.
Setiap tamu yang berkunjung ke sana, kedua penjaga tersebut tanpa basa-basi langsung meminta ponsel dan kamera untuk disimpan di pos pengamanan.
Di balik gerbang tampak beberapa bangunan berdiri tidak beraturan sesuai kontur tanah.
Sebuah logo, dengan gambar garuda di bagian tengahnya, terlihat di salah satu gedung.
Di sekeliling logo tersebut terdapat tulisan: Sekolah Tinggi Intelijen Indonesia (STIN).
Seolah menjadi petunjuk bahwa bangunan tersebut merupakan tempat para agen rahasia Indonesia dididik.
Prediksi masa depan
Didirikan pada 2004 oleh Badan Intelijen Negara (BIN) yang saat itu dikepalai oleh A.M. Hendropriyono, STIN diharapkan mampu menjadi pemasok SDM bagi BIN.
Khususnya untuk menjadi penerus para agen rahasia Indonesia pada 10-15 tahun mendatang.
Sebenarnya BIN juga merekrut para lulusan perguruan tinggi atau orang-orang dari instansi-instansi tertentu, contoh militer.
Namun, menurut Ketua STIN, Tri Yoga Susilo, secara kuantitas jumlahnya tidak bisa memenuhi kebutuhan SDM.
Selain itu standarnya juga berbeda dengan STIN.
“Misalnya, keseimbangan antara kemampuan inteligensia dan fisik,” ujar Tri Yoga.
Dulu intelijen Indonesia hanya membutuhkan individu yang kuat, mampu membuntuti orang, dan bisa bertahan dalam segala macam kondisi.
“Sekarang kita butuh intelijen yang juga mampu menganalisa dan memprediksi yang akan terjadi pada masa mendatang. Ini sesuai dengan slogan kita, yaitu Cendikia Waskita,” tambah Wahyudi Adisiswanto, Pembantu Ketua III STIN.
Pistol sampai karatan
Lama belajar di STIN empat tahun. Dalam kurun itu, para calon agen rahasia akan melahap dua jenis pelajaran, yaitu pelajaran yang umum diterima di perguruan-perguruan tinggi seperti ilmu ekonomi, sosial, politik, hukum, dan sejarah (diberikan pengajar dari luar STIN) serta muatan lokal (diberikan pengajar dari dalam STIN).
“Tentunya ini bukan muatan lokal biasa. Ini muatan lokalnya kita, ya, ilmu keintelijenan,” kata Wahyudi, Pembantu Ketua I STIN.
Penguasaan bahasa asing yang cas cis cus, menjadi syarat mutlak.
Mahasiswa STIN wajib menguasai satu bahasa asing, selain bahasa Inggris.
Pilihannya bahasa Arab, Mandarin, Jepang, atau Prancis.
Semua harus dipilih sejak awal perkuliahan.
Mahasiswa juga dilatih fisiknya, meski tidak setiap saat dilakukan.
Sebelum berkuliah di STIN, mereka sudah dilatih terlebih dahulu di Pusat Pendidikan Pasukan Khusus (Pusdikpassus), Batujajar, Jawa Barat, selama sebulan.
Ada pula bekal kemampuan bela diri, karate dan pencak silat.
“Fokusnya bukan untuk menyerang, tapi untuk menghindar,” tegas Adisiswanto.
Hal yang sama juga diterapkan dalam penggunaan senjata api.
Mereka hanya belajar menggunakan senjata di lapangan tembak milik STIN.
“Dalam praktiknya, kita jarang menggunakan senjata api dan lebih memilih menyimpannya di rumah. Bahkan pistol saya saja sampai karatan,” Adisiswanto bercerita.
Pria mendominasi ( baca halaman 2 )